Insurance Technology Bakal Hadir di RI
erkembangan financial technology (teknologi keuangan) diperkirakan diikuti insurance technology . Ini juga akan pengaruhi industri asuransi.
Hal ini seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEUI), Rhenald Kasali. Rhenald menuturkan, saat ini dikembangkan riset terkait pencegahan dan pengobatan.
"Sekarang sedang dikembangkan riset-riset dan sudah mulai beredar ke depan namanya ada preventive medicine, semuanya pencegahan. Kemudian precision medicine, semuanya presisi. Jadi asuransi ke depan itu data, bukan pasien. Data hilang, celakalah kita manusia," tutur dia di acara Tax Gathering, Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat (15/3/2018).
Pendiri Rumah Perubahan ini juga menuturkan, kehadiran insurance
technology ini menjawab mahalnya premi asuransi. Apalagi premi asuransi
tersebut dinikmati oleh para agen asuransi yang digunakan untuk piknik
ke Hong Kong dan Jepang.
Melihat hal tersebut akan ada perubahan di industri asuransi dengan kehadiran insurance technology. Diperkirakan satu-dua tahun lagi hadir insurance technology tersebut.
"Jadi nanti akan ada perubahan besar teknologi. Setelah fintech itu insurance technology. Saya kira enggak lama, sekarang sudah mulai banyak insurance technolgy dijual di luar negeri, jadi dugaan saya setahun dua tahun ke depan akan ada insurance technology di Indonesia," ujar dia.
Rhenald menuturkan, insurance technology akan bergerak berdasarkan big data yang mereka punya. Jadi mobilitas terpantau dan terintegrasi secara cepat dan juga seksama.
"Semua orang pakai big data. Seminggu yang lalu kaca mobil saya dipecahin maling, normalnya perusahaan asuransi untuk melakukan verifikasi butuh waktu 5 hari baru datang. Sekarang pakai drone langsung dicek, difoto langsung bisa dikasih tahu masalahnya dan langsung dibayar, masuk bengkel. Jadi begitu cepat insurance technology ini," jelas dia.
Melihat perkembangan itu, Ia mengimbau para perusahaan asuransi konvensional buat menguasai big data secara akurat sehingga mengikuti perkembangan zaman.
"Ya sarannya harus menguasai big data, harus bekerja sama dengan startup-startup insuretech. Insuretech itu sangat spesifik, proteksi data, jual data. Kalau saat ini di Indonesia saya belum lihat ya insurance technology, kalau fintech banyak,” jelas dia.
Hal ini seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEUI), Rhenald Kasali. Rhenald menuturkan, saat ini dikembangkan riset terkait pencegahan dan pengobatan.
"Sekarang sedang dikembangkan riset-riset dan sudah mulai beredar ke depan namanya ada preventive medicine, semuanya pencegahan. Kemudian precision medicine, semuanya presisi. Jadi asuransi ke depan itu data, bukan pasien. Data hilang, celakalah kita manusia," tutur dia di acara Tax Gathering, Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat (15/3/2018).
Melihat hal tersebut akan ada perubahan di industri asuransi dengan kehadiran insurance technology. Diperkirakan satu-dua tahun lagi hadir insurance technology tersebut.
"Jadi nanti akan ada perubahan besar teknologi. Setelah fintech itu insurance technology. Saya kira enggak lama, sekarang sudah mulai banyak insurance technolgy dijual di luar negeri, jadi dugaan saya setahun dua tahun ke depan akan ada insurance technology di Indonesia," ujar dia.
Rhenald menuturkan, insurance technology akan bergerak berdasarkan big data yang mereka punya. Jadi mobilitas terpantau dan terintegrasi secara cepat dan juga seksama.
"Semua orang pakai big data. Seminggu yang lalu kaca mobil saya dipecahin maling, normalnya perusahaan asuransi untuk melakukan verifikasi butuh waktu 5 hari baru datang. Sekarang pakai drone langsung dicek, difoto langsung bisa dikasih tahu masalahnya dan langsung dibayar, masuk bengkel. Jadi begitu cepat insurance technology ini," jelas dia.
Melihat perkembangan itu, Ia mengimbau para perusahaan asuransi konvensional buat menguasai big data secara akurat sehingga mengikuti perkembangan zaman.
"Ya sarannya harus menguasai big data, harus bekerja sama dengan startup-startup insuretech. Insuretech itu sangat spesifik, proteksi data, jual data. Kalau saat ini di Indonesia saya belum lihat ya insurance technology, kalau fintech banyak,” jelas dia.
Industri Asuransi Diminta Antisipasi Perkembangan Teknologi
Sebelumnya,
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) meminta pelaku industri
asuransi di Indonesia mempersiapkan diri menghadapi tantangan
perkembangan teknologi. Apalagi, jumlah pengguna internet di Indonesia
terus berkembang dan menjadi lahan potensial industri asuransi Tanah
Air.
“Fenomena perkembangan teknologi digital sudah tidak dapat disikapi oleh industri dengan reaktif. Teknologi tidak hanya mengubah perilaku individu dalam melakukan kegiatan sehari-hari, namun juga mengubah perilaku pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya," kata Ketua Umum AAJI Hendrisman Rahim dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis 25 Januari 2018.
Mengutip data Digital in 2017 bertajuk Southeast Asia dan' We Are Social a Hootsuite (2017), dari sekitar 262 juta populasi di Indonesia, 50 persen di antaranya atau sekitar 132,7 juta jiwa adalah pengguna intemet.
Kemudian 106 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial, serta 92 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial melalui aplikasi mobile.
Hal ini dinilai memperlihatkan tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi merespon real time yang cepat dan tepat, serta keinginan mereka untuk mendapatkan kemudahan akses dan layanan dimana pun dan kapanpun.
Salah satu cara AAJI menghadapi perkembangan teknologi, dengan menggelar serangkaian kegiatan Digital and Risk Management in Insurance (DRiM).
lnisiatif ini bertujuan untuk merespon cepatnya perkembangan teknologi digital, khususnya dalam hubungan perusahaan dengan konsumen, percepatan ragam proses bisnis dan penyebaran informasi, sekaligus membantu meningkatkan dan memajukan penetrasi asuransi jiwa di negeri ini.
“Melalui kegiatan ini, AAJI berkomitmen teguh untuk terus mendukung program literasi dan inklusi keuangan dari pemerintah dan OJK, serta mendorong para pelaku industri asuransi jiwa agar lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi, termasuk dalam hal manajemen risiko yang juga harus terus dikembangkan" dia menambahkan.
sumber ;
“Fenomena perkembangan teknologi digital sudah tidak dapat disikapi oleh industri dengan reaktif. Teknologi tidak hanya mengubah perilaku individu dalam melakukan kegiatan sehari-hari, namun juga mengubah perilaku pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya," kata Ketua Umum AAJI Hendrisman Rahim dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis 25 Januari 2018.
Mengutip data Digital in 2017 bertajuk Southeast Asia dan' We Are Social a Hootsuite (2017), dari sekitar 262 juta populasi di Indonesia, 50 persen di antaranya atau sekitar 132,7 juta jiwa adalah pengguna intemet.
Kemudian 106 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial, serta 92 juta jiwa merupakan pengguna aktif media sosial melalui aplikasi mobile.
Hal ini dinilai memperlihatkan tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi merespon real time yang cepat dan tepat, serta keinginan mereka untuk mendapatkan kemudahan akses dan layanan dimana pun dan kapanpun.
Salah satu cara AAJI menghadapi perkembangan teknologi, dengan menggelar serangkaian kegiatan Digital and Risk Management in Insurance (DRiM).
lnisiatif ini bertujuan untuk merespon cepatnya perkembangan teknologi digital, khususnya dalam hubungan perusahaan dengan konsumen, percepatan ragam proses bisnis dan penyebaran informasi, sekaligus membantu meningkatkan dan memajukan penetrasi asuransi jiwa di negeri ini.
“Melalui kegiatan ini, AAJI berkomitmen teguh untuk terus mendukung program literasi dan inklusi keuangan dari pemerintah dan OJK, serta mendorong para pelaku industri asuransi jiwa agar lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi, termasuk dalam hal manajemen risiko yang juga harus terus dikembangkan" dia menambahkan.
sumber ;
0 komentar: